Di balik pesona wisata alamnya yang begitu menawan, Dieng menyimpan sedikit cerita "suram" mengenai pengelolaan pariwisatanya. Beberapa obyek wisata di Dieng memang masih luput dari perhatian pemerintah, hanya dibiarkan dengan fasilitas seadanya tanpa dilakukan pembenahan. Kondisi ini jika dibiarkan terus-menerus sangatlah disayangkan mengingat potensi wisata alam yang dimiliki Dieng begitu beragam.
Kawah Sileri, satu dari beberapa obyek wisata alam di Dataran Tinggi
Dieng dengan fasilitas dalam kondisi yang cukup memperihatinkan. Kawah
vulkanik yang terletak di Desa Kepakisan, Kecamatan Batur, Kabupaten
Banjarnegara ini memiliki akses jalan yang kurang terawat, banyak lubang
di sepanjang jalan dari gapura masuk sampai ke lokasi. Fasilitas parkir
kendaraan pun juga tidak memadai, kendaraan hanya diparkirkan di
pinggir jalan begitu saja tanpa ada yang mengawasi. Ada perasaan was-was
memang mengingat tempat parkir yang terletak di tepi jalan, lalu
pengunjung harus melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki menuruni bukit
sekitar 300 meter. Kendaraan tidak akan terlihat jika kita sudah
mencapai area bibir kawah. Demi menjaga keamanan lebih baik mengunci
kendaraan demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.
Sepanjang perjalanan menuruni perbukitan menuju kawah, kita akan disuguhi pemandangan yang sedikit kurang mengenakkan. Pemandangan kamar mandi umum dalam kondisi rusak dengan "limbah" berwarna kekuningan yang berserakan di dekat pembuangan air. Entah limbah apa itu, saya sendiri kurang mengetahuinya. Tidak jauh dari kawah terdapat bangunan seperti pendopo yang digunakan sebagai gardu pandang untuk melihat pemandangan kawah. Bangunan ini juga tampak tidak terurus, genting-genting sudah beterbangan entah ke mana. Di sebelah gardu pandang tersebut terdapat sebuah papan peringatan agar pengunjung tetap waspada dan menjaga jarak dengan kawah. Oh iya, karena di sekitar kawah sering disinggahi oleh hewan ternak yang sedang mencari makan, maka hati-hati dengan "ranjau darat" yang bertebaran di rerumputan.
Walaupun masih minim dengan fasilitas pendukung, Kawah Sileri ini tetap menjadi alternatif obyek wisata yang wajib dikunjungi di Dataran Tinggi Dieng. Jalan setapak dari parkiran hingga bibir kawah sudah dibangun dengan baik. Pemandangan yang disuguhkan oleh kawah ini tak kalah cantik dengan pemandangan obyek wisata lain di Dieng. Hamparan kawah seluas kurang lebih dua hektar ini selalu tertutup oleh kepulan asap berwarna putih dengan bau belerang yang khas seolah tak pernah berhenti menyelimuti permukaan kawah. Pemberian nama Sileri sendiri konon diambil dari air kawah yang berwarna putih keabuan yang mirip dengan air leri (air dari cucian beras), sehingga akhirnya kawah tersebut diberi nama Kawah Sileri. Aliran air dari Kawah Sileri ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber pengairan perkebunan milik penduduk yang berada di sekitar kawah.
Di balik minimnya fasilitas yang ada, Kawah Sileri menyuguhan pemandangan alam yang menawan. Hamparan perbukitan hijau dengan pohon-pohon yang tumbuh subur serta hamparan perkebunan warga yang mengelilingi kawah akan memanjakan mata. Kondisi vegetasi di sekitar Kawah Sileri terlihat kontras memang jika dibandingkan dengan kondisi di sekitar Kawah Sikidang yang terlihat gersang. Di sekitar Kawah Sileri ini rerumputan dan pepohonan justru dapat tumbuh dengan subur. Di balik pesonanya, Kawah Sileri merupakan kawah paling berbahaya di kawasan Dataran Tinggi Dieng. Jika dilihat dari track record-nya, kawah ini mengalami beberapa kali letusan vulkanik mulai dari tahun 1944, 1964, 1984, 2003, dan terakhir pada tahun 2009 di mana ledakan Kawah Sileri ini mengakibatkan korban jiwa dan kerusakan alam di sekitarnya. Tanda peringatan bahaya memang sudah dipasang di sekitar kawah. Pengunjung hanya diperbolehkan mengunjungi kawah ini maksimal sampai dengan pukul lima sore. Walaupun sudah diperingatkan, hal yang paling penting adalah kewaspadaan si pengunjung itu sendiri demi keselamatan diri.
Jika dilihat dari sisi yang berbeda, kesan tak terurus obyek wisata Kawah Sileri ini dapat menimbulkan kesan alami nan "liar". Akan lebih baik jika pemerintah beserta pihak-pihak terkait memperbaiki fasilitas di obyek wisata Kawah Sileri ini guna memberikan kenyamanan kepada wisatawan dan juga dapat meningkatkan jumlah kunjungan. Dalam sebuah manajemen pariwisata memang diperlukan sinergi hubungan antara pemerintah, masyarakat, serta wisatawan itu sendiri untuk menjaga fasilitas yang ada di obyek wisata.
Sepanjang perjalanan menuruni perbukitan menuju kawah, kita akan disuguhi pemandangan yang sedikit kurang mengenakkan. Pemandangan kamar mandi umum dalam kondisi rusak dengan "limbah" berwarna kekuningan yang berserakan di dekat pembuangan air. Entah limbah apa itu, saya sendiri kurang mengetahuinya. Tidak jauh dari kawah terdapat bangunan seperti pendopo yang digunakan sebagai gardu pandang untuk melihat pemandangan kawah. Bangunan ini juga tampak tidak terurus, genting-genting sudah beterbangan entah ke mana. Di sebelah gardu pandang tersebut terdapat sebuah papan peringatan agar pengunjung tetap waspada dan menjaga jarak dengan kawah. Oh iya, karena di sekitar kawah sering disinggahi oleh hewan ternak yang sedang mencari makan, maka hati-hati dengan "ranjau darat" yang bertebaran di rerumputan.
Walaupun masih minim dengan fasilitas pendukung, Kawah Sileri ini tetap menjadi alternatif obyek wisata yang wajib dikunjungi di Dataran Tinggi Dieng. Jalan setapak dari parkiran hingga bibir kawah sudah dibangun dengan baik. Pemandangan yang disuguhkan oleh kawah ini tak kalah cantik dengan pemandangan obyek wisata lain di Dieng. Hamparan kawah seluas kurang lebih dua hektar ini selalu tertutup oleh kepulan asap berwarna putih dengan bau belerang yang khas seolah tak pernah berhenti menyelimuti permukaan kawah. Pemberian nama Sileri sendiri konon diambil dari air kawah yang berwarna putih keabuan yang mirip dengan air leri (air dari cucian beras), sehingga akhirnya kawah tersebut diberi nama Kawah Sileri. Aliran air dari Kawah Sileri ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber pengairan perkebunan milik penduduk yang berada di sekitar kawah.
Di balik minimnya fasilitas yang ada, Kawah Sileri menyuguhan pemandangan alam yang menawan. Hamparan perbukitan hijau dengan pohon-pohon yang tumbuh subur serta hamparan perkebunan warga yang mengelilingi kawah akan memanjakan mata. Kondisi vegetasi di sekitar Kawah Sileri terlihat kontras memang jika dibandingkan dengan kondisi di sekitar Kawah Sikidang yang terlihat gersang. Di sekitar Kawah Sileri ini rerumputan dan pepohonan justru dapat tumbuh dengan subur. Di balik pesonanya, Kawah Sileri merupakan kawah paling berbahaya di kawasan Dataran Tinggi Dieng. Jika dilihat dari track record-nya, kawah ini mengalami beberapa kali letusan vulkanik mulai dari tahun 1944, 1964, 1984, 2003, dan terakhir pada tahun 2009 di mana ledakan Kawah Sileri ini mengakibatkan korban jiwa dan kerusakan alam di sekitarnya. Tanda peringatan bahaya memang sudah dipasang di sekitar kawah. Pengunjung hanya diperbolehkan mengunjungi kawah ini maksimal sampai dengan pukul lima sore. Walaupun sudah diperingatkan, hal yang paling penting adalah kewaspadaan si pengunjung itu sendiri demi keselamatan diri.
Jika dilihat dari sisi yang berbeda, kesan tak terurus obyek wisata Kawah Sileri ini dapat menimbulkan kesan alami nan "liar". Akan lebih baik jika pemerintah beserta pihak-pihak terkait memperbaiki fasilitas di obyek wisata Kawah Sileri ini guna memberikan kenyamanan kepada wisatawan dan juga dapat meningkatkan jumlah kunjungan. Dalam sebuah manajemen pariwisata memang diperlukan sinergi hubungan antara pemerintah, masyarakat, serta wisatawan itu sendiri untuk menjaga fasilitas yang ada di obyek wisata.
Adapun juga asal muasal atau ''LEGENDA KAWAH SILERI"
Selain keindahan alam kawah sileri yang mampu membius jutaan penikmat
wisata alam, ternyata tedapat legenda yang sangat menarik untuk
ditelisik.
Diceritakan, pada suatu saat hiduplah seorang nenek ahli sihir yang
selalu berusaha memperdalam ilmunya. Dalam usahanya tersebut, nenek tadi
tidak mau diganggu oleh segala keributan di desa-desa sekitarnya. Suatu
ketika, nenek sihir mendaki ke gunung dengan maksud untuk bersemedi dan
bertapa, berbekal tongkat wasiat di tangannya serta tangan yang satu
lagi memegang tempurung bersikan air leri (cucian beras).
Maksud nenek itu, kalau nanti ia masih merasa terganggu juga, air leri akan ditumpahkan dari gunung menjadi kawah dan laharnya akan menghancurkan/membinasakan segala sesuatu yang menghadang, termasuk penduduk desa seisinya.
Dalam perjalanan ke puncak gunung, karena ketuaannya, nenek itu terpeleset dan terantuk batu sehingga tempurung yang dipegangnya pun tertumpah, lalu tumpahan air leri itu menjadi kawah-kawah kecil dan banyak jumlahnya. Karena air kawahnya putih, maka kemudian disebut kawah Sileri.
Menyadari apa yang menjadi harapannya digagalkan oleh sebongkah batu, dengan seketika nenek menghantamkan tongkat saktinya ke batu yang menghalanginya menjadi berkeping-keping. Kepingan batu yang berserakan tiba-tiba lenyap kemudian berubah menjadi asap tipis, kepulan-kepulan asap perlahan –lahan menjadi seorang putrid cantik yang seluruh tubuh dan pakaiannya berhiaskan emas yang gemerlapan oleh karena pantulan sinar matahari. Ternyata ia adalah Dewi Mala, seorang putrid yang tergila-gila pada perhiasan emas.
Menurut cerita, putrid ini dulu pernah berguru/menjadi murid nenek sihir. Ia menginginkan apa yang disinggungnya berubah menjadi emas. Akan tetapi, saat diberi petunjuk oleh nenek sihir untuk bertapa dengan cara merendamkan diri ke sungai Dolok selama seratus hari, ia membuat satu kesalahan. Dewi Mala mencuri pembakar dupa milik si nenek yang terbuat dari emas.
Akibatnya, ia disumpah menjadi batu. Maka, saat si nenek melewati, kesempatan yang baik tidak disia-siakannya guna membalas dendam kepada gurunya dengan cara menghalangi/menggagalkan harapan si nenek seperti halnya nenek itu pernah menggagalkan keinginannya.
Setelah diketahui bahwa penyebab ini semua adalah bekas murid durhaka, nenek sihir menghendaki nyawa si murid itu sendiri yang menjadi imbalannya. Terjadilah pertempuran dasyat yang memporak-porandakan segala apa yang berada di sekitarnya. Pertempuran ini berakhir dengan matinya guru dan murid bersama-sama. Segala perhiasan yang dipakai dewi Mala berubah menjadi logam biasa. Hingga saat ini, ada sebuah mitos bahwa barang siapa yang berkunjung ke kawah Sileri dan memakai perhiasan dari emas, maka akan turun kadar emasnya.
Maksud nenek itu, kalau nanti ia masih merasa terganggu juga, air leri akan ditumpahkan dari gunung menjadi kawah dan laharnya akan menghancurkan/membinasakan segala sesuatu yang menghadang, termasuk penduduk desa seisinya.
Dalam perjalanan ke puncak gunung, karena ketuaannya, nenek itu terpeleset dan terantuk batu sehingga tempurung yang dipegangnya pun tertumpah, lalu tumpahan air leri itu menjadi kawah-kawah kecil dan banyak jumlahnya. Karena air kawahnya putih, maka kemudian disebut kawah Sileri.
Menyadari apa yang menjadi harapannya digagalkan oleh sebongkah batu, dengan seketika nenek menghantamkan tongkat saktinya ke batu yang menghalanginya menjadi berkeping-keping. Kepingan batu yang berserakan tiba-tiba lenyap kemudian berubah menjadi asap tipis, kepulan-kepulan asap perlahan –lahan menjadi seorang putrid cantik yang seluruh tubuh dan pakaiannya berhiaskan emas yang gemerlapan oleh karena pantulan sinar matahari. Ternyata ia adalah Dewi Mala, seorang putrid yang tergila-gila pada perhiasan emas.
Menurut cerita, putrid ini dulu pernah berguru/menjadi murid nenek sihir. Ia menginginkan apa yang disinggungnya berubah menjadi emas. Akan tetapi, saat diberi petunjuk oleh nenek sihir untuk bertapa dengan cara merendamkan diri ke sungai Dolok selama seratus hari, ia membuat satu kesalahan. Dewi Mala mencuri pembakar dupa milik si nenek yang terbuat dari emas.
Akibatnya, ia disumpah menjadi batu. Maka, saat si nenek melewati, kesempatan yang baik tidak disia-siakannya guna membalas dendam kepada gurunya dengan cara menghalangi/menggagalkan harapan si nenek seperti halnya nenek itu pernah menggagalkan keinginannya.
Setelah diketahui bahwa penyebab ini semua adalah bekas murid durhaka, nenek sihir menghendaki nyawa si murid itu sendiri yang menjadi imbalannya. Terjadilah pertempuran dasyat yang memporak-porandakan segala apa yang berada di sekitarnya. Pertempuran ini berakhir dengan matinya guru dan murid bersama-sama. Segala perhiasan yang dipakai dewi Mala berubah menjadi logam biasa. Hingga saat ini, ada sebuah mitos bahwa barang siapa yang berkunjung ke kawah Sileri dan memakai perhiasan dari emas, maka akan turun kadar emasnya.
ini foto saya pas waktu berkunjung ke kawah sileri pada pagi hari hawanya sejuk dan masih alamni